Redenominasi rupiah...? jadi..?


Informasi Yang Benar Tentang Redenominasi Rupiah

Redenominasi kata-kata ini seperti istilah yang baru untuk sebagian orang awam dalam dunia perbankan dan dunia bisnis, 2 bulan yang lalu Bank Indonesia mendengungkan akan adanya rencana redenominasi mata uang rupiah agar mata uang kita nilainnya meningkat di kalangan pangsa ekonomi dunia.
Redenominasi merupakan penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang. Dan redenominasi, dilakukan saat ekonomi sedang stabil, sedang tumbuh dan tingkat inflasi terkendali.
Konferensi pers Gubernur Bank Indonesia tentang redenominasi rupiah menegaskan bahwa BI akan mengusulkan redenominasi rupiah dengan menghilangkan 3 nol terakhir di mata uang kita. Prosesnya direncanakan akan berlangsung selama 5 tahun dimulai pada tahun 2011 dan konsep ini masih dalam tahap study bank indonesia. Proses denominasi terdiri dari dua tahap, yaitu 2 tahun masa sosialisasi dan 3 tahun masa transisi. Dalam masa transisi, Rupiah lama dan Rupiah baru akan berlaku secara bersamaan, sehingga setiap barang akan memasang dua harga. Misalnya, 1 butir telur akan mematok dua harga yaitu 1.000 Rupiah lama dan 1 Rupiah baru.
Dengan redenominasi ini, nilai nominal Rupiah akan lebih setara dengan mata uang Negara lain, misalnya 1 Yen akan setara 0.1 Rupiah, 1 Ringgit akan setara 2.8 Rupiah, dan 1 Dollar akan setara 9 Rupiah. Redenominasi sudah sepatutnya dilakukan mengingat Rupiah memiliki nilai nominal paling tinggi di dunia setelah empat Negara berkembang lainnya, yaitu Zimbabwe, Vietnam, Somalia, dan Iran. Bagi yang sering berinteraksi dengan mata uang asing, betapa kita merasakan bahwa nilai Rupiah terlalu besar dan “kurang berharga” dibandingkan mata uang asing
Secara makro ekonomi, dampak redenominasi Rupiah tidaklah ada karena proses ini sangat berbeda pada penurunan nilai rupiah karena inflasi pada tahun 1959 pada jaman presiden sukarno. Dilihat dari model ekonomi apapun, redenominasi tidak akan berpengaruh ke variabel nominal apalagi ke variabel riil dalam perekonomian sehingga saya kurang sependapat dengan pendapat beberapa ahli ekonomi yang mengatakan redenominasi memberikan efek negatif pada ekspektasi pelaku pasar. Lebih jauh, redenominasi tidak akan menyebabkan kenaikan/penurunan inflasi. Untuk menggambarkan efek netral redenominasi secara sederhana, proses redenominasi dapat digambarkan sebagai berikut: Pak Badu memiliki uang Rp.10.000 dan harga sebutir telur Rp. 1.000, sehingga pak Badu dengan uangnya mampu membeli 10 butir telur. Jika pemerintah melakukan redenominasi dengan menghilangkan 1 nol terakhir, maka uang pak Badu akan menjadi Rp. 1.000 dan harga satu butir telur menjadi Rp.100. Redenominasi ini tidak menimbulkan efek inflasi karena dengan uang yang dimilikinya, pak Badu tetap bisa membeli 10 butir telur, sama persis dengan jumlah telur yang dapat dibelinya sebelum redenominasi.
Kekhawatiran beberapa pengamat ekonomi tentang kekacauan dalam perekonomian setelah redenominasi Rupiah saya kira kurang beralasan. Dengan waktu sosialisasi yang cukup, saya kira masyarakat Indonesia sudah cukup cerdas untuk memahami redenominasi dan mampu bertransaksi sama baiknya menggunakan rupiah lama maupun rupiah baru.
Untuk memahaminya lebih mendalam, mari kita tengok pengalaman redenominasi di negara lain yang memiliki tingkat perekonomian yang relatif sama dengan Indonesia, yaitu Turki dan Rumania. Turki menghilangkan 6 nol pada mata uangnya “Lira” pada 1 Januari 2005, sedangkan Rumania menghilangkan 4 nol pada mata uangnya “Leu” pada 1 Juli 2005. Kedua proses redenominasi tersebut berlangsung lancar dan tidak menyebabkan kekacauan dalam kegiatan perekonomian. Turki melakukan sosialisasi redenominasi selama 1 tahun, sedangkan Rumania hanya dalam waktu 6 bulan. Bandingkan dengan rencana BI, sosialisasi akan dilakukan selama 2 tahun, rentang waktu yang sudah sangat memadai untuk sosialisasi, karena saya yakin masyarakat Indonesia tidaklah lebih bodoh dari masyarakat Turki maupun Rumania.
Memang harus diakui redenominasi bisa digunakan sebagai alat untuk mengendalikan money supply pada saat terjadi hyper inflation (sanering) dan biasanya sanering dilakukan didalam perekonomian yang sedang collapse oleh rezim yang bermasalah. Ironisnya, Indonesia pernah merasakan pengalaman buruk tentang sanering pada saat akhir orde lama pada Desember 1965. Saat itu pemerintah memotong nilai nominal mata uang, sedangkan harga barang dibiarkan tetap mengikuti harga lama. Akibatnya masyarakat merasakan dampak yang luar biasa karena saat itu harga barang hanya turun satu persen dari nilai pemotongan, sehingga kekayaan masyarakat menjadi jauh lebih kecil dari kekayaan awal. Tetapi yang perlu diingat bahwa redenominasi sekarang berbeda dengan sanering tahun 1965, inflasi saat ini sangat terkendali dan BI juga memberikan masa transisi yang cukup sehingga harga barang akan turun sebesar penurunan nilai nominal uang
Walaupun secara garis besar rencana BI sudah baik, ada beberapa masukan untuk menyempurnakannya. Pertama, saya lebih prefer untuk menghilangkan 2 nol daripada 3 nol. Alas an pertama adalah secara de facto bahwa nilai pecahan Rupiah terendah yang berlaku di masyarakat adalah Rp. 100. Dengan dua digit redenominasi, perilaku masyarakat tidak akan berubah karena mereka masih dapat menggunakan pecahan terkecil yang biasa mereka gunakan. Alasan kedua, redenominasi 3 digit akan dapat menyebabkan perubahan inflasi karena efek pembulatan. Ambil contoh sebuah barang seharga Rp.100 akan dijual Rp. 1 setelah redenominasi karena tidak ada pecahan Rp. 0.1, sedangkan dalam redenominasi dua digit, penjual masih dapat menjual barang tersebut senilai Rp. 1. Harus diakui bahwa redenominasi 2 digit juga tidak bebas dari efek pembulatan, tetapi efeknya akan sangat kecil karena saya yakin bahwa secara de facto pecahan terkecil yang berlaku di masyarakat sekarang adalah Rp. 100.
Usulan kedua saya adalah pengurangan waktu untuk proses redenominasi. Pertama, masa transisi sebaiknya dikurangi dari 3 tahun menjadi hanya 2 tahun. Kembali ke pengalaman Turki dan Rumania, masa transisi di Turki adalah 2 tahun sedangkan di Rumania hanya 1.5 tahun. Saya yakin Indonesia bisa mengikuti jejak mereka untuk memperpendek masa transisi, karena Indonesia memiliki tingkat perekonomian dan kualitas SDM setara dengan mereka. Pengurangan masa transisi dirasa penting karena masa transisi identik dengan ketidakstabilan. Masa sosialisasi seharunya juga bisa diperpendek. Seperti dijelaskan diatas bahwa masa sosialisasi di Turki selama 1 tahun dan Rumania hanya 6 bulan, masa sosialisasi di Indonesia bisa diperpendek hanya menjadi 1 tahun terhitung dari awal 2011. Secara de facto, sebenarnya sosialisasi sudah dimulai saat BI mengumumkan rencana redenominasi pada awal Agustus 2010. Jika pengurangan waktu tersebut disetujui, secara keseluruhan redenominasi hanya akan memerlukan waktu relatif singkat hanya 3 tahun dan kita tidak akan berlama-lama dalam menyelesaikan sebuah agenda.
Mengingat bahwa redenominasi memberikan banyak manfaat tanpa memberikan risiko berarti pada perekonomian, sudah selayaknya masyarakat mendukung program tersebut. Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan yang terkesan masih apriori dengan rencana denominasi harus segera memberikan dukungan bagi BI guna memperlancar agenda besar ini.
Logika sederhana tentang redenominasi
Kalau denger uang 1000 rupiah menjadi 1 rupiah?
Yang terbayang memang daya beli kita menurun 1000 kali lipat, tetapi ternyata nggak seperti itu kok. Redenominasi ternyata penyederhanaan nilai uang, jadi biar nggak ribet aja, naik angkot dulunya 2000, sekarang jadi 2 rupiah. Tetapi sama aja, sama sekali nggak bikin kita harus punya uang 2juta dulu (yang sama dengan 2000 sekarang) untuk naik angkot.
Tapi kan pernah terjadi di Indonesia, pemotongan uang pada jaman Soekarno (1959)?
Betul, itu namanya SANERING, dan memang benar sanering itu membuat uang menurun nilainya. Saat itu 1000 menjadi 100, daya beli uang berkurang 10 kali lipat
Memangnya ada negara lain yang sudah melakukan redenominasi?
1. Turki (tahun 2005) –> memotong 6 digit (1 juta menjadi 1)
2. Rumania (tahun 2005) –> memotong 4 digit (10000 menjadi 1)
3. Zimbabwe (tahun 2008) —> memotong 10 digit (10 M menjadi 1)
Kenapa setuju dengan redenominasi?
1. Lebih bergengsi, misal= 1 dolar sekarang 9000 rupiah, tapi bila redenominasi 1 dolar = 9 rupiah nah nilai mata uang kitapun tampak terlihat lebih sedikit selisihnya dengan mata uang asing
2. Lebih efisien dalam memakai kalkulator, hemat kertas struk dan hemat tinta, hemat memori komputer.
3. Redenominasi membuktikan ekonomi Indonesia stabil, karena hanya bisa dilakukan pada saat inflasi rendah.
4. Uang kertas 100.000 rupiah adalah mata uang kedua terbesar digitnya di dunia, setelah 500.000 Dong Vietnam
5. dan yang pasti harga barang-barang Nampak (heheheh cuma nampak aja tapi kenyataan beda) lebih murah, bayangkan pisang goreng harganya 1/2 rupiah kembali lagi ke jaman kakek kita dulu!!
Kenapa nggak setuju atas isu redenominasi saat ini?
1. Masyarakat panik karena takut nilai uang yang dimiliki menurun, membelanjakan uangnya, inflasi menjadi tinggi.
2. Bukan sesuatu yang urgent bagi Indonesia untuk redenominasi, tetapi mungkin ada motivasi lain menebar isu ini
3. Bakalan ada biaya untuk cetak uang yang baru
4. Bagaimana dengan harga 1500? Apakah menjadi 1 rupiah 5 sen? Jadi kita kembali mengenal “sen” dong? Atau mungkin malah dibulatkan menjadi 2 rupiah?

0 komentar:

Posting Komentar